JATI DIRI
Rina, Saat bertemu dengannya, dia mendekatiku mungkin karena kerudungku. Kuajak saja dia ke masjid Kowloon. Dia memberiku nomor hp-nya. Selama di Hong Kong aku memang tidak membeli handphone karena aku tidak ingin disibukkan dengan telepon yang mengganggu kerjaku juga aku ingin berhemat agar bisa nabung lebih banyak.
Kami cepat akrab, kami tebak-tebakan umur. Tentu saja aku selalu mengaku usiaku 23 tahun saat itu, sesuai KTP Hong Kong yang kumiliki, padahal aku masih dua puluh tahun. Rina satu tahun di bawahku berarti dia sembilan belas tahun. Tapi wajah dia kelihatan lebih tua dibandingkan denganku.
“Aku tinggal di sana” sambil menunjuk apartemen dekat Fanling KCR Station tempat kami bertemu tadi.
Aku pun bercerita tinggal di seberang jalan, lima ratus meter dari apartemennya lalu masuk lewat subway yang letaknya di bawah tanah dan ada kawasan villa yang terdiri dari beberapa unit saja. Aku bercerita tentang pekerjaanku tapi akhirnya aku harus mendengarkannya dan memancing pertanyaan yang membuat Rina bercerita.
“Mbak, aku ingin jadi seperti adikmu..”
Aku? Apa istimewaku sampai orang yang lebih berpengalaman seperti Rina memintaku menjadi kakaknya.
“Sebelum sampai di Hong Kong aku ke Singapura melewati Batam, tapi saat di perjalanan aku bersama dua orang temanku diturunkan begitu saja dari kendaraan, karena ada pemeriksaan kelengkapan surat. Aku tak punya satu sanak saudara pun di sana. Mbak, aku lihat temanku diperkosa oleh segerombolan laki-laki, aku berteriak pun tak ada yang menyahut.” Rina pun terdiam. Kutatap matanya dalam, ada bulir bening yang pecah dari pandangannya.
“Kamu tidak diapa-apain kan? Ada yang nolong kan?” sahutku kemudian, memastikan bahwa dia baik-baik saja.
“Tidak ada, sampai gerombolan berandalan itu pergi dan baru kami ditolong oleh Mas dan dibawanya kami ke rumahnya.”
Hm… aku terdiam sekejap, entahlah… antara menjadi TKW dan kasus perdagangan manusia sangat tipis batasnya. Kadang para agen PJTKI lah yang berperan besar dalam human trafficking tersebut. Mencari kalimat yang pas untuk menanyainya kelanjutannya adalah berat bagiku, seberat why i’ve been choosen to hear this? Apa yang bisa kubantu, kuperbuat setelah mendengar kisahnya.
Otakku berputar mencari celah di mana bisa aku masuki, tentunya hanya agar dia tegar, berpikiran luas menapaki hidup dengan harapan dan semangat baru, agar apa yang terjadi di masa lalu adalah pelajaran. Bukankah Allah akan menutupi keburukan kita kalau kita mau merubah diri mendekat padaNya. Meyakinkannya bahwa manusia diciptakan dengan penuh kehormatan, punyai nilai tertinggi di hadapan Allah, jadi apapun yang terjadi nilai itu akan selalu melekat padanya sepanjang dia berusaha taat padaNya. Value itu selalu kukedepankan saat ada teman-temanku yang curhat padaku.
Surat favoritku, yang telah kupelajari bersama Mbak Sri, Kathy, Susi, Ndari serta Mery… Quran Surat Al ‘Ashr. Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yag beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.
Itu adalah kalimat dari Tuhan, yang mutlak kebenarannya. Tak ada keraguan terhadapnya. Aku harus menjabarkan arti sabar pada Rina. Tak mungkin kuucapkan, “Ya kamu yang sabar ya, itu ujian dari Allah, pasti nanti Allah berikan yang terbaik kalau kamu sabar” ah… itu mah kalimat basi! Lalu ini yang aku ucapkan.
“Rin, kamu tahu mengapa kita, manusia lebih tinggi derajatnya di hadapan Tuhan dibanding malaikat sekalipun?” setelah kebekuan itulah kalimat pertamaku pada Rina.
Kening Rina berkerut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Apa ya Mbak?” lanjutnya.
“Kita punya akal pikiran yang dengannya kita bisa berpikir untuk menyelesaikan masalah yang ada. Sejatinya manusia itu kan dilahirkan sebagai penyelesai masalah, kemampuan problem solving tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupannya selanjutnya.”
“Aku kesal saja Mbak dengan hidupku! Tuhan pilih kasih, dia melakukannya padaku tapi tidak pada Mbak atau pada teman-teman lainnya!”
Oh my God… sebuah bentuk protes darinya, menyentakku.
“Rin, kalau aku mempermasalahkan siapa yang dimanja oleh Tuhan dengan hidup penuh kemudahan dan hidup penuh kesusahan… aku akan terjatuh pada buruk sangka, Tuhan tidak adil!”
“Ya memang demikian kan Mbak?”
“Mungkin ini jawaban yang harus kita pikirkan bersama lagi, aku diberitahu sister Farah, mengapa kita orang muslim dicoba dengan cobaan kesusahan. Jawabnya karena kita mampu mengatasinya. Coba liat saja tingginya angka kematian karena bunuh diri yang dilakukan artis Hong Kong maupun penduduknya. Padahal secara harta dan kemewahan telah tercukupi. Mengapa aku tidak mendapatkan hidup sepertimu? Karena kalau aku sepertimu, aku tidak akan bisa mendengarkan ceritamu seperti sekarang.”
Ha… ha… tawa itu pun akhirnya terpecah, Rina bisa tersenyum.
“Mbak aku juga muslim… tapi dua minggu lalu aku diajak temenku, mengikuti misa dan aku dibapstis Mbak, aku senang mendengarkan nyanyian di lantai dua KJRI, sedangkan aku tidak tahu kalau di lantai empatnya ada mushollah.”
What?! Saat di Hong Kong masalah yang kutemui memang tidak terlalu banyak, lebih banyak menjadi pendengar curhat dari teman-teman yang kutemui.
“Terus… kamu sudah bersungguh-sungguh pindah keyakinan?”
“Mbak, saat itu aku lagi kalut. Aku pun baru tahu kalau acara itu bernama misa dan yang dilakukan padaku adalah pembaptisan. Kukira itu acara nyanyi, aku menyukai liriknya dan mendengarkan ceramah.”
“Rina, kamu orang kedua yang kutemui mengalami hal ini. Temanku itu hidupnya di Indonesia juga sangat miris. Bapaknya yang penjual tempe menikah lagi dan dia anak tertua yang harus membiayai hidup Emak dan tiga adiknya, kemudian dia menikah dan punya satu anak, suaminya pergi ke Malaysia dan dia ke Hong Kong lalu berpacaran dengan orang Nepal. Saat bertemu dengannya lagi dia bilang sudah putus dan malah bertemu dengan teman yang mengajaknya ke sebuah misa dan dia juga dibaptis. Kalau dia tidak datang ke misa selanjutnya, maka teman-temannya akan mencarinya dan mereka sangat peduli dan perhatian terhadap masalah yang dihadapi dan kesejahteraan kawan-kawannya.”
“Temen Mbak itu akhirnya kembali menjadi muslim, bolehkah?”
“Rina, temanku itu Alhamdulillah sekarang lebih sering ke masjid terkadang ke mushollah di KBRI dan belajar banyak dan berkumpul dengan teman-teman yang insyaAllah kami berusaha dalam proses menjadi salih, walaupun masih jauh.”
“Aku takut dicap murtad dan diolok-olok Mbak”
“Kalau Allah sudah menutupi keburukanmu, kamu tidak perlu membukanya lagi. Allah masih sayang sama kamu.”
“Mbak, kamu jangan pulang dulu ya? Aku berteman sama siapa lagi?”
“Rin, nanti aku kenalkan dengan teman-temanku. Mereka juga baik-baik kok. Mbak pulang kan untuk kuliah dan kamu masih bisa telepon Mbak kalau ingin curhat.”
Pada hari-hari selanjutnya saat aku kerja, kutelepon Rina dari telepon umum.
“Mbak, kemarin Mbak tidak libur ya? Aku diajak teman-temanku ke pantai dan minum-minum di sana dan pulang dalam keadaan mabuk karena kebanyakan.”
“Aku seminggu di rumah Pho-pho, minggunya ikut yum-cha. Susah memang keluar dari jejaring pertemananmu. Gimana kalau kamu pake kerudung saja liburan besuk.”
Lalu kami pun berpisah menuju rumah bos masing-masing.
***
Senyum lebar nan sumringah terpancar jelas dari wajahnya.
“Mbak, aku cantik ndak pake jilbab?”
Kasak kusuk di taman dekat KCR Fanling station di depan seven eleven minimarket, salah satu teman Rina ikut nimbrung.
“Oh… ini teman baru Rina sampai dia berjilbab. Berjilbab jangan kepalanya saja tapi dalam-dalamnya juga dong!”
“Ehm… maksudnya apa ya?” tanyaku berusaha santai.
“Mbak… Mbak di Hong Kong yang penting itu kita bisa hidup, tidak dipecat majikan, bisa ngirim uang ke rumah, pasti Rina menjelek-jelekkan kami ya di hadapanmu. Toh kami tidak merugikan orang lain kalau kami minum.”
Hm… jangan sampai kamu meminta dariku untuk nraktir minum ataupun untuk ngrokok, lebih baik aku kasihkan pengemis di depan masjid. Walaupun kalian teman sesama orang Indonesia.
“Sepertinya Rina tidak pernah cerita demikian, dia hanya cerita tentang dirinya dan keluarganya.”
“Kamu ini tidak sopan, Mbak Ani akan pulang dua minggu lagi dan dia akan kuliah” tegas Rina pada dua temannya. Akhirnya dua orang temannya mau bersalaman dan kenalan denganku lalu kami masuk ke foce-cham–stasiun Fanling.
“Mbak, temanku ada yang lulus kuliah ke sini lho? Apa tidak takut sehabis kuliah terus tidak ada kerjaan Mbak ke sini lagi?” tanya salah satu teman Rina.
“Temenku juga ada Mbak, tapi yang kutahu saat dia ke sini dia ngumpulkan uang buat suaminya S2 dan mungkin setelah itu dia sendiri juga ingin sekolah lagi.” Jawabku.
“Memang sudah cukup Mbak uangnya?”
“Ya, nekad mungkin bisa bertahan paling nggak tiga tahun selebihnya aku pasti nyambi kerja dan ngirim tulisan-tulisanku ke media.”
“Ya bagus kuliah sambil kerja Mbak.”
Rina menjelaskan kalau temannya tersebut pernah juga kuliah di Unibraw Malang tapi saat tahun kedua harus cuti dan membawanya sampai ke sini. Dia seperti trauma kalau dengar kata kuliah, karena dia sangat tahu besarnya biaya yang dibutuhkan untuk seorang anak petani dengan penghasilan mengandalkan panen yang belum tentu berhasil tidaknya.
Aku teringat pada sahabat Nabi, Tsa’libah bin Hathib yang datang menghadap Rasulullah dan memohon Rasul mendoakan agar rezeki dan hartanya bertambah banyak, kemudian Rasulullah menasihatinya “Rezeki yang sedikit tetapi jika engkau pandai mensyukurinya maka itu akan lebih baik daripada banyak tetapi tidak dapat menguasai.” Memang uang yang aku bawa pulang untuk persiapan kuliah tidak terlalu banyak, tapi aku yakin di Indonesia pasti akan ada jalan untukku. Walaupun aku sudah berjanji dengan diriku untuk tidak menghubungi Rei lagi, karena bersamanya membuatku bermimpi bahkan sampai berangan-angan takut jadi setan yang tumbuh subur di ladang pikiranku.
Proyek TKI akan segera aku jalankan juga. Ingat saat Rei bilang di chatting “Bukan mengejar pengakuan dengan berderet gelar di belakang nama kita, tapi yang terpenting adalah peningkatan potensi diri demi perbaikan umat, mempunyai pengetahuan tentang hakikat menjaga izzah, ada upaya menda’wahkan ajaran Islam serta punya planning hidup yang jelas.”
“Bekerjalah, karena sesungguhnya Allah, rasul dan orang-orang yang beriman yang akan melihat kerja kalian dan kamu akan dikembalikan pada Allah yang mengetahui akan yang ghaib dan nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS At Taubah :105)”
Dari beberapa kali istikharah untuk pulang atau bekerja dua tahun lagi, aku mendapatkan sebuah buku dari pinjam di perpus FKMPU, berulang kali aku mendapatkan ayat “Fa idza ‘azzamta fatawakkal ‘Alallaah” apabila kamu telah membulatkan tekadmu maka bertawakkallah. Benar, bertawakkal pada Allah itu menentramkan jiwaku karena aku sudah berusaha bekerja dan mengumpulkan uang dengan selalu berhemat saat di Hong Kong maka apapun kondisiku saat pulang kelak aku tak akan menyesal karena aku telah mengusahakan sebaik mungkin agar bisa kuliah dengan setiap detik tetesan keringatku adalah doa agar Allah membantuku bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Setelah sampai di Hung Hom station, kami berpisah. Aku dan Rina pergi ke Kowloon Mosque dengan jalan kaki. Setelah masuk ke masjid untuk sholat Dhuha, aku mengajaknya turun ke Home Affairs Department yang disediakan pemerintah Hong Kong, di sana terdapat Super Cyber Center yang biasa kugunakan mengajari Mery, Susi, Mbak Sri, Ndari dkk yang ingin membuat e-mail dan mencari artikel dengan mudah. Saat itu warnet di Hong Kong masih di tempat-tempat tertentu. Yang aku ketahui menyediakan fasilitas gratis ya di public library yang tersebar di setiap distrik seluruh Hong Kong serta pusat Super Cyber yang dipadati para migran Pakistan dan Filipina, Indonesia belum pada tahu kali ya.
Aku jadi mengenal sosok Helvy Tiana Rosa dengan FLP-nya juga dari Internet. Visa kerja di Hong Kong yang tinggal sebulan lagi, adalah waktu yang cukup singkat untuk mencari tahu tentang dunia penulisan. Sejak SMA aku berusaha menulis fiksi, juga bercita-cita ingin menulis dengan sastra realis-sosialis seperti Pramoedya Ananta Toer, tapi tidak pernah tahu bagaimana bisa menghasilkan karya, tulisanku sungguh sangat tidak enak dibaca. Saat bekerja di Hong Kong inilah, aku berusaha mencari tahu tentang komunitas penulisan, berusaha mengejar ketertinggalanku terhadap hobi menulis yang belum juga diapresiasi dari pihak manapun. Mulai dari komunitas wedangjae, Bengkel Cerpen Nida di yahoogroups, eramuslim.com sampai dengan cybersastra.net. Di tempointeraktif.com, aku temukan tulisan tentang beberapa nama penulis perempuan antara lain Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Dewi Lestari sampai Helvy Tiana Rosa.
Tertanggal 11 Juni 2003, aku membuka website cybersastra. http://cybersastra.net/edisi_juni2001/diary.htm, sebuah esai berbentuk diary dengan judul “Hari-hari di Aceh” ditulis oleh Helvy Tiana Rosa. Sebanyak 12 lembar sengaja aku print di Sheung Shui Public Library Hong Kong, karena aku mengingati beliau dalam tulisan sebelumnya di tempointeraktif yang juga ku print. Helvy merupakan bagian dari penulis perempuan yang ditulis tempo. Kupilih di-print juga karena waktu untuk menggunakan fasilitas internet di perpustakaan sangat singkat, aku pun membawa print-print-an tulisan itu ke tempat kerja. Dunia kerja seorang penata laksana rumah tangga di Hong Kong mewajibkan kami bekerja sepanjang waktu sesuai permintaan Bos, sehingga tulisan-tulisan penuh inspirasi hasil print dari perpustakaan adalah bacaan yang membuatku sedikit merasa tidak capek dan menghargai hidup yang diberikan Allah, dengan terus memupuk semangat belajar lagi, termasuk tulisan Helvy tentang Aceh.
Tulisan tentang beberapa kisah perjuangan muslimah Aceh yang diperlakukan tidak hormat, dizalimi hak asasinya di negeri sendiri, kian membuka pikiranku. Di negeri sendiri masih begitu melimpah permasalahan dan PR bagi kita—termasuk aku yang belum jadi penulis saat itu, bisa merasakan kepedihan dan membangkitkan jiwa-jiwa yang lelah melalui tulisan.
Saat di Hong Kong, sosok Helvy belum terlalu kukenal, meskipun saat SMA di tahun 1998 hampir tiap bulan aku membaca majalah Annida, pinjaman dari teman tapi aku belum paham terhadap pimpinan majalah remaja ini. Helvy yang kuketahui melalui tulisan 12 lembarnya di cybersastra, beliau pendiri FLP. Terpatri di ingatanku beliau termasuk sastrawan nasional, timbul keinginan yang membuncah untuk mengikuti komunitas yang dipimpinnya. Belajar dari orang yang tulisan diarynya saja begitu menyentuh hati, ada penggalan kisah di mana rasa kemanusiaan terabaikan. Habis membaca rasanya ada kemarahan, sedih dan kekerdilan peran yang kupunya, sebagai PLRT di negara orang membuatku semakin miris, tak ada yang bisa kuberikan untuk negeri ini, bahkan tulisanku belum juga enak dibaca dan mempengaruhi orang.
Sampai saat ini jika aku membaca 12 lembar tulisan Helvy, airmata ini masih saja tidak bisa dibendung. Di sana tertulis ungkapan pak Taufik Ismail “Masya Allah, Helvy… banyak sekali pahala Kau dengan FLP ini”
Aku sempat membuat catatan di balik lembaran diary yang ditulis Helvy
Hai cii-fong—di dapur, 5.20 pm
Di usia yang ke 21 tahun ini semoga sudah ada taman bacaan buat saudara-saudara yang lain. Ntar juga pingin ikut FLP di Sby, ada gak? Pokoknya Allah sudah kasih ide-ide baru yang seger-seger dan menyenangkan buat ngejalaninya.
Allah, dari taman bacaan tersebut hamba mo adakan setiap Ahad agar anak-anak tuh lebih suka membaca. Hamba akan nyari bacaan tentang rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Ada les komputer (bisa gak ya?? Ato cukup gak ??—uangku) yang penting kan udah punya rencana dulu…
Pada tanggal 17 Juni 2003, saat aku menemukan tulisan tentang Forum Lingkar Pena, terdapat alamat sekretariat pusat FLP di Jakarta, juga nomor telepon yang bisa dihubungi serta milis yang tersedia. Sehingga pada saat itu juga aku menjadi anggota FLP di milis [email protected] akan tetapi aku masih takut untuk menelpon dan memberitahukan keberadaanku di Hong Kong, karena saat itu aku merasa rendah diri… menjadi PLRT (dari pengalaman pribadi diremehkan dan difitnah sehingga mempunyai konsep diri negatif) juga belum mempunyai karya yang bisa diapresiasi di media manapun kecuali diaryku.
Kubaca satu per satu, mulai dasar pemikiran, misi dan kegiatan/program yang dimiliki FLP. Tulisan singkat ini seperti yang kutulis di bawah profil FLP yang telah kuprint di tanggal 17 Juni 2003.
Fanling, 4.10 pm 18 Juni 2003
Wah… Alhamdulillah bhw Allah tlh beri kesempatan pd ana tuk ikut gabung (FLP).. .tnx my God
Rasa kemanusiaan dari goresan pena Mbak Helvy Tiana Rosa sangat patut diteladani. “Urusan-urusan seperti ini—menjumpai anak korban DOM, selalu membuat saya lupa pada rasa lapar di perut saya juga tulisan saya“ juga informasi tentang ayah kakeknya merupakan cucu kandung pahlawan Imam Bonjol, adalah ahli kimia juga ahli islamologi pertama di Indonesia” Begitu bahagia seorang Helvy yang hidup di lingkungan keluarga yang peduli sama buku. Bahkan aku harus bekerja ke luar negeri dulu menjadi PLRT untuk bisa meraih impianku, mengenyam bangku kuliah akan tetapi masih kesulitan menulis, padahal banyak tangis dan derita yang hadir tapi tetap saja sebagai pelaku belum bisa menghasilkan tulisan yang menyentuh hati nurani.
Aku berusaha membayangkan seperti yang diceritakan Helvy, bertemu dengan anak-anak korban DOM bahkan diketahui anak-anak tersebut melihat langsung saat orang tuanya dibunuh atau diculik, pantas saja dan setelahnya aku mengamini pernyataannya, pengalamannya saat itu mempengaruhi kehidupan Beliau selanjutnya. Badanku terasa merinding saat Mbak Helvy bisa datang ke replika rumah Cut Nyak Din, seorang tokoh yang pernah kami buat drama dalam acara pagelaran sebagai syarat kelulusan SMA, yang kutahu perempuan itu adalah pahlawan pejuang dari Aceh dengan senjata rencongnya, dan saat itu aku berperan sebagai Cut Meutia anak dari Cut Nyak Din memainkan begitu saja tanpa masuk dalam relung hati meresapi kegagahan pahlawan perempuan itu, akan tetapi Helvy memang mampu membuat saya seakan-akan ikut hadir di cerita yang Ia bawakan, di hari saat Ia bisa mengunjungi rumah pahlawan itu. Sehingga aku juga bisa merasakan kekaguman dan semangat menggebu, empati pada perjuangan serta penderitaan rakyat Aceh atau cita-cita untuk bisa banyak memberi dan berkorban seperti tokoh dengan karakter yang luar biasa tersebut.
Aku kagum melihat ada sastrawan seperti Helvy Tiana Rosa, berkerudung dan mampu eksis dengan pilihannya membawa warna Islam dalam tulisan-tulisannya. Cerita yang dikemas dalam nuansa Islam tak meletakkan perempuan dalam posisi subordinat laki-laki.
Juga tulisan lain di eramuslim.com yang bisa aku akses lewat internet. Pak Bayu Gawtama, beliau sering menuliskan kisah yang dialaminya dalam bentuk esai ringan. Yang kuingat adalah saat itu dengan setting Jepang beliau menceritakan perjuangan istrinya yang melahirkan dan Pak Bayu mendaftarkan anaknya di kantor imigrasi akan tetapi di hari berikutnya dia harus kembali ke kantor imigrasi karena melaporkan anaknya yang telah meninggal. Juga penggalan kisah yang ditulis Mbak Azimah Rahayu di eramuslim.com. Aku berkesempatan menelpon Mbak Azi dan saat itu Beliau masih berada di Paseban, malam-malam kutelepon takut mengganggunya tapi ternyata Dia terbuka sekali. Teman sebangkuku, Sofie telah menikah dan tinggal di daerah Paseban, akhirnya terdengar ucapan bahwa dunia itu sempit ya.
“Dik, kalau boleh saya minta diary dari Adik sewaktu kerja di Hong Kong.”
Akupun mengiyakan sambil berucap insya Allah. Aku saat itu langsung berpikir bahwa seorang penulis yang rajin mengisi di eramuslim.com meminta diaryku? Apa menariknya isi tulisan catatan harianku itu.
Akhirnya aku melihat bukuku di loker telah banyak, jumlah diaryku lebih dari enam buah belum catatan di balik lembaran yang kuprint. Aku bingung mau memberi yang bagian mana, sampai aku pulang dan belum memberikannya pada Beliau.
Saat aku ke FKMPU, aku menemukan Annida yang memuat cerpen berjudul Fotoklepto, tulisan tersebut atas nama Rofiah Jombang. Oh My God… itu kan Fifi temanku di Rohis SMA dulu. Ah… senang banget ternyata dia bisa menjadi penulis dan menembus Annida. Aku langsung membeli kartu telepon Indonesia melacak nomor telepon Fifi, teman SMAku. Aku menelpon Bu Cip tempat kosku yang hanya sebulan saja, juga salon potong rambut langganan Fifi, menanyakan nomor telepon rumah Fifi, akhirnya kudapatkan nomornya dan diterima kakaknya, aku pun diberitahu nomor telpon kosnya di Jogja.
Fifi ternyata masuk kuliah D3 Broadcasting UGM. Setelah kuucapkan selamat atas keberhasilan cerpennya masuk di Annida, aku pun menggali tentang informasi perkuliahan di UGM.
“Fi, gimana biaya hidup di Jogja dan biaya kuliah di UGM?”
“Ani sekarang di mana? Belum kuliah?”
“Aku dulu jadi instruktur bahas Kantonis di sebuah PJTKI dengan gaji besar, ya mungkin bisa memodaliku untuk kuliah!”
Ah… suer, bilang saat ini aku menjadi TKW adalah dosa besar bagi alumni SMA2, dalam sejarah sekolah tersebut akulah pemecah rekor bekerja menjadi babu di negeri orang. Biarin daripada malu, dipermalukan. Asalkan setelah ini aku juga bisa kuliah dan kerja yang menggunakan intelektualku. Untung Fifi tidak tanya lagi padaku.
“An, memang biaya hidup murah di sini tapi biaya pendidikan di UGM cukup mahal, jadi kamu pikir ulang terus juga mencari kerjaan di sini tidak mudah lho, tidak seperti di Surabaya ataupun di Jakarta.”
Setengah jam berlalu dan aku say good bye padanya, karena sepertinya dia juga sudah capek bicara denganku.
***