IKHWAN S3
Pertengahan Oktober di Hong Kong saat ini lagi autumn, suhu semakin dingin. Para siswa mulai masuk setelah menghabiskan summer holiday selama tiga bulan yang lalu. Selama dua minggu ini keluarga Leung pergi berwisata ke Inggris. Aku kira dua minggu ini aku terbebas dari tetek bengek pekerjaanku ternyata Chung Yin tertinggal untuk kembali bersekolah.
Aku jadi sering pergi ke public library. Sheung Shui public library menjadi tempat yang asyik menghabiskan waktu siang dengan memakai fasilitas internetnya. Aku pun bisa meminjam CD dan kaset pembelajaran bahasa Inggris. Sambil bekerja aku nyalakan portable CD, kadang walkman untuk belajar. Liburan pekan pertama ditinggalkan bosku, aku ke Hong Kong public library. Dengan membawa bekal makanan, bisa memudahkanku untuk tidak kemana-mana. Aku menuju lantai lima. Disana banyak majalah dari seluruh dunia. Majalah Gatra pun ada. Ku baca ditempatnya karena tidak bisa dibawa pergi.
Aku pergi mendaftar kebagian pendaftaran. Booking internet untuk penggunaan dari jam 14.00 sampai jam 16.00. Saat ini jam masih menunjukkan 11.00. aku turun ke lantai dasar. Lihat-lihat lukisan juga pernak-pernik handphone. Karena masih lama, aku mengambil koin yang ada di dompet. Telepon ke teman-teman yang punya hp. Mungkin saja ada salah satu dari mereka yang bisa temani aku liburan hari ini. Ambar pergi ketemannya di Tseung Kwan O. Mery ke Shatin bertama teman-teman masjid lainnya sedangkan Yuni belanja di Taipo bersama Mina. Akhirnya aku liburan sendiri.
Waktu sudah pukul 14.10 aku naik lift ke lantai lima. Di kertas tanda booking menunjukkan 5 LAN 1 . Aku mencari komputer dengan tanda itu, ah… .masih dipake orang. Apa-apaan nich “ Excuse me, your time already finish. It’s my time! “ sepertinya aku bicara cukup jelas tapi orangnya malah sibuk ngetik. “Emkoi Sinsang, yika ngo ke shi !’ aku tunjukkan kertas booking punyaku. Orang itu malah jawab. “Hai…sorry! i have to finish my duty, give me more time, mafan nei lah! “ spontan saja aku kaget, apa? Merepotkanku? Ya jelaslah! Dasar! gerutuku. Aku langsung merasa malas sudah libur tidak ada teman, mau ngenet dipakai orang. Mau lapor ke bagian informasi tapi aku keburu jengkel. Untuk ngilangin strees aku buat jalan-jalan ke tempat majalah lagi. Mungkin dengan melihat warna-warni gambar di dalamnya membuatku lebih santai, kupilih majalah National Geographic.
Ada lelaki menghampiriku. Hm….orang yang tadi duduk dan pakai komputer yang sudah ku booking. “Mbak, maafkan saya masih pake komputernya. Soalnya laptop saya kehabisan baterai dan komputer di seluruh perpustakaan ini sudah penuh dibooking orang. Sore ini saya mau ketemu sama profesor saya untuk membahas penelitian saya. Mbak tidak keberatan kan? Saya orang Indonesia juga.” Omongannya terus berlanjut dengan perkenalan diri. Aku hanya nyengir mendengarnya. Tapi, seumur-umur aku juga belum pernah kenal dengan researcher, mahasiswa Indonesia lagi. Aku mengiyakan saja komputerku dipakai. Kertas booking-an kukasihkan dia.
Tiga hari berlalu, sewaktu aku ngecek email ternyata ada new sender. Setelah aku buka ternyata pengirimnya orang kemaren yang ketemu waktu di Hong Kong public library. Oh, dia mendapatkan alamat email dari kertas tanda booking-an. Setiap hari aku menyempatkan waktu untuk mengecek email. Raihan dengan Rei panggilannya, walaupun itu bukan nama aslinya. Setelah menyelesaikan S2 di Malaysia, dia mengirimkan proposal pada seorang profesor yang mengajar di University of Hong Kong. Penelitiannya disetujui dengan bimbingan profesor, dia mendapatkan beasiswa menyelesaikan S3 jurusan Engineering. Aku tidak ingin bertanya tentang judul disertasinya, karena kupikir itu bukan urusanku.
Ternyata menyenangkan bergaul dengan orang yang berilmu tinggi. Membuat wawasanku bertambah luas. Enak kali ya… kalau bisa punya laptop juga kuliah dengan beasiswa seperti yang Rei dapatkan. Ah… terlalu banyak ngayal. Otakku kan tidak seencer dia, diajak ngomong apa saja dia nyambung.
Aku mengaguminya… walaupun nggak pernah ketemu lagi, kok bisa ya di usia 28 tahun menguasai lima bahasa dengan lancar, bahasa Inggris, Melayu, Jepang, Mandarin dan Kantonis. Aku juga belum pernah dapat teman sepandai tapi tidak sombong seperti dia.
Aku senang banget menjadi temannya, di dunia nyata, tidak mungkin ada cerita Cinderella. Ada seorang pangeran suka pada tuan putri yang menyamar jadi helper. Ah… semakin ngawur saja. Bagiku yang terpenting, aku bisa mengenal dia.
***
“I am unique from all of Allah’s creation. Nothing can replace me..” kalimat pembukaku yang sengaja kutuliskan di layar yahoo massanger untuk Rei, barangkali dia online pagi itu.
“Wah bagus deh…” kalimat balasan dari Rei yang singkat dan sepertinya tidak ada niatan untuk ngobrol denganku. Aku pun menulis lagi kalau tidak asyik ngobrolnya pasti akan kutinggalkan, janjiku dalam hati.
“Impianku jadi penulis terutama fiksi”
“Kenapa gak IMPIANNYA : Ridla Allah.”
“Kok aku gak pernah berpikir kesitu ya? Pasti menyenangkan ya kuliah setinggi kamu?”
“Paspor syurga itu kan cuman iman yang shahih dan amal shalih, itu aja…” tulisnya di layar YM.
Apa lagi nih pikirku. Bukannya dia mahasiswa di Hong Kong, ehm kok masih bisa punya pikiran seperti itu ya, pikiran yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Belum pernah kutemui orang seunik dia, menyentakku dengan ucapan sederhana tapi bagiku berjuta makna, hm… melayang…
“Keep the faith!! And dun forget to read Qur’an everyday…”tulisan selanjutnya muncul di kotak chatting dan aku tidak membalasnya lagi lalu kutinggalkan begitu saja, karena bahan pembicaraan yang kupunya tentang Islam sangat minim.
Punya mimpi menggapai ridha Allah, sepertinya baru kali ini aku mendapatkannya. Belum ada yang secara langsung mengucapkan padaku, hanya aku sering mendengar agar segala tindakan kita diridhai Allah. Tapi aku belum merumuskan kata-kata itu sebagai impian dan tujuan hidupku. Apapun nanti aku jadinya, sebagai seorang yang berprofesi apapun seharusnya landasan utamaku adalah mendapatkan ridhaNya.
Suatu waktu dia mengirimiku tulisan.
“Kita sama-sama jadi ‘tki’ he…”
“Tki? Sama denganku? Mengapa Rei suka memanggilku Ukhti… apa tidak sebaiknya aku dan kamu saja?” protesku suatu waktu
“Kalau pake aku dan kamu, ana takut ke-aku2-an, ananiyyah atau ego sentris kata psikolog. Terminologi tki= tenaga kerja intelektual, cou chi seik fan-ci”
“Gimana bisa disebut sama-sama tki, ah… tak benar lah itu? Rei kan tenaga kerja intelektual beneran, sedang aku Tenaga Kerja Indonesia. Hm… ngehina ne.. mentang-mentang?!” lanjut tulisanku karena sepertinya berkenalan dengannya bukannya diriku jadi PD tapi malah terkesan mengejekku. Keinginan untuk kuliah sebagai helper dan bertemu dengan orang yang sudah kuliah di negara yang sama dengan tempatku bekerja membuat aku tidak nyaman, karena aku bisa saja menghujat Tuhan dengan ketidak adilan ini.
“Ups… tunggu dulu Ukh… tujuan ana menjadi tki agar bisa jadi orang yang intelek (terpelajar) namun tetep ada iman yang kuat di hati. Tidak lantas mentang-mentang jadi tki terus jadi sombong atau bangga diri.”
“Ehm… kurang berapa lama project tki-nya?”
“InsyaAllah 3 taon lagi baru kelar… doakan…”
Garing banget berbicara dengannya, tenaga kerja intelektual, terminologinya terlalu intelek yang mengandung kalimat baku yang sopan. Pakai ana, ukhti. Apa perlu aku memanggilnya Akhi?! Dia sudah tahu kalau aku juga ingin kuliah setelah dari Hong Kong ini.
“Semoga Allah mudahkan ukhti tuk kuliah ya, dan jg lupa bny2 syukur kpd Allah. Keep faith and pray 4 me..” tutupnya kemudian.
***
“Ana orang Sumatera, yang bagian selatan.” tulisnya di kotak chatting di hari yang lain.
“Yach… orang Sumatera terkenal menghasilkan kaum2 intelek dan senang juga mengenal salah satunya.”
“Jangan-jangan kamu ustadz ya Rei di daerahmu? Pesanmu untukku supaya baca quran tiap hari tuh? Bahkan selama aku di Hong Kong belum ada yang menyuruhku demikian?”
“Iya, di mana pun, kapan pun dan di kesempatan apa pun berusahalah untuk dakwah. Emang sebenarnya itu tugas umat Muhammad SAW yang sudah banyak dilupakan orang hari ini.”
“Dakwah itu bukannya tugas kyai berceramah saat pengajian atau di masjid-masjid?”
“Saat hari-hari jumpa manusia, ketemu kawan-kawan, bicara tentang kebesaran Allah, bhw Allah itu Maha Kuasa. Dakwah juga bisa dalam perbuatan, bil hal namanya.”
Kalau berusaha mendekat dengan Allah dan bersama-sama membicarakan keAgunganNya juga sering aku dapatkan saat halaqah… aku bertemu dengan para muslimah dari luar negeri tapi kali ini, aku menemukan ada seorang terpelajar dari negaraku sendiri di tengah-tengah negara segemerlap Hong Kong. Dia terjaga sekali akhlaknya, sepertinya aku mulai mengaguminya. Tiada hari tanpa chatting dengannya.
“Ukhti memakai kerudung saat bekerja?” Rei mengirimiku pesan di yahoo masanger saat aku online di rumah bosku.
“Tidak, aku hanya memakainya saat ke pasar dan liburan saja.”
“Kalo masih bisa, usaha kerudungnya dipake, utamanya ketika keluar rumah dan di depan orang bukan muhrim, atau bahkan ketika dalam kesendirian, soalnya kan Allah liat…”
“Memakai kerudung! Aku akan memakainya terus saat di Indonesia.”
“Btw… disambung besok ya… jangan lupa baca Al-Quran.”
Ya… hanya sepuluh menit, padahal aku menunggunya sejak kemarin untuk diskusi dengannya. Orang sibuk! Sebagai mahasiswa S3 Rei sebulan dapat jatah 13000 HKD untuk biaya hidup saja, sedangkan aku jungkir balik kerja sebulan dapat 3670HKD, wah dengan alasan apa hal ini bisa diterima oleh akalku? Ada ya yang mudah banget mendapatkan sekolah seperti yang diinginkannya!
Ya Allah… akhir-akhir ini rasanya aku begitu membiarkan hatiku berbunga-bunga, kerjaan terasa lebih ringan dan cepat-cepat ingin ke public library untuk sekedar sebentar bersapa dengan Rei. Setiap ucapannya selalu kuingat dan aku jadi sering teringat ucapan-ucapannya, menjadikan semangat dan bagian dari hidup ini.
Cukup banyak alasanku untuk tersandung kata oi yang dalam bahasa inggrisnya love, jawanya trisno. Tapi semuanya pantas kusebut impian saja! Sedikit GR tak apa-apalah asal tidak melayang. Hampir selama empat bulan secara intens berdiskusi lewat chatting dengan Rei di Hong Kong public library.
“Hei orang se-perfect kamu nyari istri model apa saja pasti mudah ya?”tanyaku suatu hari.
Walaupun berulang kali Rei tidak suka aku menyebut kata aku dan kamu, katanya ananiyyah atau keakuan itu cenderung egois, mau dipanggil Akhi dan Ukhti, ah… aku kali ini tidak mengikuti aturannya, tetap saja kupanggil diriku dengan aku dan Rei dengan kamu.
“Yang pertama cinta Allah terus yang kedua cinta nabi SAW, dan ada beberapa kriteria yang tidak memberatkan.”
“Ha…ha… Nei m hou kong taiwa lah, lei ke kwai-khui yatteng houto ke wo!—kamu jangan bohong, aturanmu pasti cukup banyak.”
Aku baru saja diminta berpikir sesuatu yang belum pernah terlintas di hidupku, bahwa mencintai Allah begitu berat butuh pengorbanan, bahkan mungkin saat aku rela melepas kerudung saat kerja di Hong Kong adalah benturanku dengan idealisme cinta pada Allah dengan kebutuhan memutuskan kemiskinan harta dan memenuhi kebutuhanku haus akan ilmu dengan memasuki pendidikan tinggi.
“Kalau kamu ingin pandai berpikir secara filosofi baca buku berjudul Philosophy!” Rei nulis di chattingan tentang buku tebal berbahasa Inggris yang banyak aku temukan di perpustakaan itu. Kucari artinya: the study of fundamental nature of knowledge, reality and existence.
“Emkoi-sai ke wo…terimakasih. Tanhai ne ngo m seik thai ying man ke pun shii, tapi aku tidak bisa membaca buku berbahasa Inggris dengan baik.”
“Siong Tai-ah, Sai m sai cou kemyong toei ngo keh.. yika, ngo hou satmong, kintou kem-perfect ke yan, ngo mou ye yiu kong keh, mou ye yiu cou keh, kem tim suin ah yikwo ngo cungyi khoei, yikwo ngo oi Rei kah. Tuhan, apa perlu Kau lakukan semua ini padaku, sekarang aku merasa sedih bertemu dengan lelaki yang sempurna, aku tidak ingin berkata-kata lagi, gak ada yang ingin kukerjakan, terus aku harus gimana lagi kalau aku sampai suka dan cinta sama Dia? Pei panfat ah, Emkoi Nei lah… tolong beri aku solusi”
Pernah kutanya tentang kelambatanku dalam mengerti buku yang kubaca, dan aku dan kawan-kawanku yang belajar Islam banyak dari buku.
“Gpp, kalo belajar Islamnya dari baca aja, tp kalo bingung nanya aja ama orang yang ngerti. Buku gak mesti beli, kalo ada kesempatan gratis dengan pinjem yah pinjem aja, tp kalo ada duit dan mo beli yah ok juga. Soalnya kalo me-refer ke buku itu mudah, kan kita yang punya. Kalo gak ngerti dalam sekali baca, baca lagi sekali lagi, lagi dan lagi. insyaAllah setiap kali selesai baca, pasti ada aja deh sesuatu yang baru diperolehi (dimengerti) itu banyak ulama atau ilmuwan yang harus baca berkali-kali (berpuluh2 kali) baru bisa nangkep maksud dari buku itu, jd baca dan baca!!”
Menanggapi chatku yang hanya ingin dua tahun saja, akan tetapi saat itu majikanku sangat baik. Berat meninggalkan Hong Kong, apalagi saat itu penggajian di Hong Kong turun akan tetapi gajiku tidak diturunkan, aku berdiskusi dengannya…
Rei pun bilang “Berusahalah semaksimal mungkin untuk tunduk pada aturan Allah dan rasulNya, kalo memang dg sangat2 terpaksa ada aturan2 Allah yang dilanggar (yg tidak prinsipil tentunya), cobalah beristighfar dan tobat ama Allah, dan kalo emang kuat tinggalkan aja ‘dunia’ itu, cari ‘dunia’ lain yg lbh baik.”
“Yg penting berpeganglah pd hukum Allah dan rasulNya pd setiap tempat, keadaan, situasi, ruang, dan waktu. Minta penjagaan Allah dlm setiap gerak langkah. Inget-inget Allah, banyak2 dzikir, baca Quran, shalatul lail, shaum sunnat, ikt contoh2 nabi saw dlm praktek kehidupan. Dan juga seulas senyum manis sehari-hari, insya Allah akan membuat lbh ceria menapaki kehidupan ini.”
Sebelum kututup lembar hidupku bersama episode dengan Reihan, kuucapkan “Syukron Akh… aku mau pulang ke Indo dalam waktu dekat ini.”
“Moga slamat sampe indo, dan dimudahkan sekolahnya oleh Allah, amiin… ok gitu aja dulu ti, jaga iman!! Wallahu yahdi ila sawaissabiil..”
Setelahnya aku mengatur hatiku, berusaha meresapi setiap ucapan-ucapannya, yang banyak berpengaruh di hidupku dan keputusanku. Aku semakin yakin akan bisa lebih kaffah saat di Indonesia. Di sana aku akan leluasa menjalankan ibadahku dan aku juga bebas memakai jilbab, menuntut ilmu dan bermanfaat bagi orang yang membutuhkan. Aku kehilangan sosok yang awalnya nyebelin yang pandai ilmu agama juga bidangnya. Apakah kan kutemukan lagi orang sepandai dia, setidaknya berteman bukan untuk menanyakan kabar dariku, berteman tidak untuk menjadi pengganti ibuku yang menanyakan apakah aku sudah makan atau belum? Tapi yang berkarakter dan mempertahankan izzah dia serta identitas dia di tengah-tengah lingkungannya di mana pun ia berada.
***