BEASISWA
Biaya sekolah di Jombang semakin memberatkan orang tuaku. Baru-baru ini aku harus mendengar dari Bapak kalau dagangnya bangkrut lagi. Menjadi petani garbis dan semangka pun rugi, menjadi pedagang buah pun hasilnya tak jauh beda, sawah digadaikan dan digunakan sebagai modal berdagang buah mangga dan jeruk lalu disetorkan, katanya ke Jakarta. Tapi, jangankan modal awal balik, separuh uangnya tak kembali karena dibohongi rekan bisnisnya.
Sedangkan sertifikat tanah kami terlanjur digunakan sebagai jaminan hutang di sebuah bank. Uang pinjaman dari bank tersebut digunakan untuk usaha dagang yang akhirnya terancam kredit macet. Pegawai bank jadi sering datang ke rumah. Berulang kali datang hingga saat itu Bapak tidak bisa menghindar karena ketahuan ada di rumah.
Dari cerita Bapak, yang barusan datang adalah kepala Bank. Dia menasehati Bapak agar cepat membayar hutangnya, entah dari mana datangnya si kepala Bank bertanya tentang aku sekolah di mana. Bapak pun memberitahu kalau aku sekolah di SMA 2 Jombang. Kepala Bank itu pun terkejut dan meminta Bapakku untuk memindahkanku ke SMA Ploso saja yang dekat dan tidak memakan banyak biaya, Kepala Bank itu bilang kalau anaknya juga sekolah di SMA yang sama denganku.
Aku pun mencari tahu yang mana anaknya. Ternyata anaknya juga perempuan sama sepertiku, akan tetapi kami tidak pernah sekelas dan pastinya tidak pernah satu genk. Dari kelas satu aku berkutat dengan para jilbaber, itupun cakupannya kecil ada Bety teman sebangkuku saat kelas satu, Sofie, Dina, Krisna dan Sri. Selain itu aku menjaga jarak dengan teman-teman lainnya, karena aku minder berteman dengan mereka. Aku tahu dan sadar asalku dari keluarga sangat sederhana, bahkan kekurangan yang berbeda latar belakang teman-teman yang kebanyakan dari keluarga berada.
Anjuran dari kepala Bank tidak digubris oleh Bapak, karena aku pernah bertanya sama beliau. “Apa memang benar Bapak selama ini merasa berat saat menyekolahkanku di SMA 2?”
Aku bisa menebak jawabannya adalah tidak, karena aku jarang merepotkannya kecuali uang saku setiap hari. Untuk uang buku LKS aku dapatkan dari beasiswa yang aku urus sendiri lewat kelurahan yang aku ajukan ke TU–Tata Usaha.
Pada awalnya aku mengira orang TU SMA favorit itu bakalan serem, tapi aku meminta berbicara empat mata dengan beliau menceritakan keadaan keluargaku lalu keinginan sekolah yang selalu membuncah.
Kulihat Bu Mut, kepala TU matanya berkaca-kaca. Apa yang terjadi? Beliau balik bercerita tentang kehidupan dan kesulitannya lalu menyemangatiku dan berjanji membantuku. Aku pun lega seakan dapat angin surga untuk bisa sekolah di SMA 2 sampai lulus.
Sejarah mendapatkan beasiswa, pertamanya aku tidak tercantum di dalamnya, karena kesalahan pendataan. Aku tidak melingkari nomorku di lembar absen, karena sebelumnya aku telah mendaftar ke Bu Mut secara langsung.
Hari itu saat diumumkan pembagian beasiswa, aku terlambat masuk kelas, pikirku acara sekolah setelah ujian hanya classmeeting–pertandingan antar kelas. Jadi pagi itu aku bersepeda dari rumah ke sekolah. Aku berpikir tak ada pelajaran jadi aku bisa santai bersepeda kayuh dan menikmati udara pagi. Aku pun ikut berkerumun di TU di antara teman-temanku yang mendapatkan beasiswa.
“Mbak Ani kamu gak dapat tapi ada tulisan pensil di bawahnya.” Fety membawa uang di amplop dan berhambur kaluar dari kerumunan.
Kutanyakan pada pegawai TU yang membagikan uang tersebut, apakah aku bisa mendapatkan beasiswa tersebut juga.
“Kamu melingkari nomor absenmu tidak saat pendataan kemarin?” ucapnya balik bertanya
“Tapi Bu, saya sudah memberikan surat keterangan tidak mampu dari desa kepada Bu Mut.”
“Waduh Mbak, kamu sih tidak dengerin petunjuk dari kami. Kami hanya melayani yang tercantum di sini. Kami tidak bisa memberikanmu beasiswa.”
“Apa tidak bisa diusahakan lagi.”
“Itu salah kamu kan… makanya dengarkan petunjuk dan perintah!” tukas petugas TU yang tidak sabar melayani pertanyaan dariku.
Sesak dada ini. Mengapa jadi seperti ini ya? Yang aku tahu, teman-temanku yang dapat beasiswa tidak semuanya membutuhkan. Hanya saja aku teledor kemarin. Aku merasa lebih memenuhi syarat mendapatkan beasiswa tanpa melingkari nomor absen sekalipun, karena aku telah memberikan surat keterangan tidak mampu dari pak lurah. Sedang teman-temanku tidak menyertakan surat dari desa tapi melingkari nomor absennya lalu mendapatkan uang yang dengar-dengar mau dibelikan tas dan dipakai traktiran makan-makan bersama, sungguh tidak adil!
Dadaku semakin sesak karena tidak tahu harus bagaimana. Aku yang salah tidak melingkari nomor absenku. Seandainya aku tidak teledor, aku lakukan pasti sudah dapat uang. Setidaknya untuk membayar angkot setiap hari dan makan siang di kantin.
Makan siangku biasanya berupa bakso dengan hitungan jumlah bakso yang diambil, sedangkan mie dan sayur tidak dihitung. Dengan limaratus rupiah aku bisa mendapatkan dua bakso tahu dan kuah yang banyak, dan aku tidak memerlukan minum lagi karena ibuku sudah membawakan air di botol. Kadang nasi soto ayam seharga tujuh ratus lima puluh rupiah.
Aku masuk ke kelas di seberang TU. Duduk di salah satu bangku dekat tembok. Aku ingin sebentar menyendiri. Pak, Ibu maafkan aku. Karena keteledoran, aku jadi tidak mendapatkan uang beasiswa itu. Aku benar-benar tidak tahu caranya biar aku mendapatkan uang beasiswa tersebut. Mungkin aku harus mengayuh lagi untuk mengumpulkan uang biar Bapak tidak perlu lagi memberiku uang untuk angkot. Tapi, perutku sering sakit dan perih kalau terlalu capek di atas sadel dan mengayuh sepeda.
Aku pun berpikir betapa berharganya uang itu untukku. Tiga bulan mendapatkan jatah tujuh puluh lima ribu rupiah dari beasiswa selama setahun. Pastinya aku juga bisa bantu ibu, agar tidak menjual beras untuk ditukarkan dengan ikan asin serta bahan sayur lodeh untuk berbuka puasa, seperti yang biasa aku lakukan ke toko.
“Waduh Ning, puasa kok tukune iwak asin, opo ora salah ibumu ngongkone? Puasa kok belinya ikan asin, apa ibumu tidak salah nyuruhnya?”
Aku pun tidak bisa lagi menahan panasnya mataku hingga mengeluarkan lahar cairnya. Akhir-akhir ini jadi banyak yang bertanya. Rumahku kan jauh puasa-puasa kok pakai sepeda kayuh? Kujawab saja bersepeda sambil menunggu bedug maghrib. Padahal memang penghasilan Bapak dan Ibu lagi seret. Setelah hatiku tertata kembali aku pun keluar dari ruang kelas dan menuju ke TU mencari Bu Mut.
“Iyo An, itu nama kamu sudah aku tulis di sana. Nanti akan kami sortir lagi dan memasukkanmu, besuk ya aku usahakan. Sekarang lagi banyak yang ngantri, kamu pulang dulu saja ya.” Pintanya aku turuti. Bu Mut dengan semangat mengusahakanku dengan memberikan beasiswa milik murid yang seharusnya tidak layak dapat beasiswa dan memberikannya padaku. Maturnuwun Bu, aku tak lagi menyalahkan diriku yang tidak melingkari nomor absenku untuk dapat beasiswa.
***