FILM DOKUMENTER ‘PERTARUHAN’ DI JERMAN
Film kedua yang aku sutradari bersama 4 sutradara lainnya berjudul PERTARUHAN. Film ini masuk seleksi di ajang bergengsi Berlinale Film Festival 2009 kategori Panorama Dokumente. Tim film kami pun berangkat dalam tiga gelombang. Pertama sutradara Ucu Agustin dan Lucky Kuswandi harus berangkat duluan, mereka yang akan datang untuk acara pembukaan, gelombang kedua produser dan supervisor yaitu Teh Nia Dinata dan Pak Abduh Aziz dan gelombang yang ketiga ada aku—Ani Ema, sutradara Iwan Setiawan dan Mas Echa Latjuba dari dewan kesenian Jakarta.
Jauh-jauh hari sebelum keberangkatan, aku sibuk memikirkan nanti akan bicara seperti apa dengan audience dari manca negara tersebut, tentunya juga mau kemana saja nantinya sesampai di Berlin yang merupakan ibukota negara federal Jerman yang terkenal dengan tembok Berlin-nya itu. Mungkin tembok itu yang ingin kulihat setelah datang. Karena sering melihat film “Life is Beautiful” aku jadi ingin tahu di mana Monument untuk pembantaian kaum Yahudi seperti yang ada di film tersebut.
Di setiap aku keluar negeri yang pasti menjadi perhitungan aku adalah tempat tinggal, cuaca saat itu, kuliner dan yang pasti peta kota biar tahu kita ada di mana dan mau kemana. Berlin, setahuku di bulan Februari sedang musim dingin, bahkan sebelumnya terdengar kabar dari teman-teman yang tinggal di sana bahwa suhu mencapai minus 20 derajat. Sebelum berangkat kami menyiapkan baju-baju tebal, syal dan sepatu boot biar tidak kedinginan. Syukurlah produserku baik-baik, mereka meminjamkan semua yang kami butuhkan tersebut. (Thanks Teteh Nia Dinata dan Mbak Vivian Idris, my best producers)
Sesampainya di bandara Tegel Berlin, kami menuju booth festival, nah dengan menunjukkan kertas undangan festival, aku pun mendapatkan katalog film yang diputar selama festival. Tas bertuliskan Berlinale dan yang terpenting aku diberi badge festival (biar bisa ambil karcis selama pemutaran seluruh film serta mengikuti acara yg telah dijadwalkan).
Kami pun diantar menggunakan mobil sponsor festival menuju hotel Suite yang juga telah disediakan oleh festival. Selama perjalanan dari Bandara menuju hotel, kami melewati monument yang didirikan untuk mengenang pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi, walaupun hal itu masih diperdebatkan oleh beberapa teman yang kukenal. Apakah pembantaian itu merupakan mitos yang diciptakan untuk mejatuhkan Hitler atau benar-benar terjadi, karena banyak sejarah ditulis oleh mereka yang berkuasa demi kepentingannya masing-masing. Dari beberapa literatur, monumen tersebut menempati lahan seluas 19000 m2, sepintas saat melewatinya terlihat kubus-kubus terbuat dari beton berjajar mencapai 2700-an buah, karena bangunannya mengikuti permukaan tanah jadi kubus tersebut memiliki tinggi yang berbeda.
Mobil pun bergerak terus menuju Suite hotel di Anhalter Str. 2. Sementara itu kami pun berpisah dengan rombongan yang berangkat bareng karena kami tinggal di hotel yang berbeda. Suite hotel termasuk tempat tinggal yang mewah dengan harga permalam 110 Euro atau setara Rp 1.700.000 dengan fasilitas single bed, sofa, meja dan kursi, bath tub, lemari yang cukup banyak disertai penghangat ruangan serta pemanas air. Untuk breakfast ternyata harus nambah 16 Euro per orang atau sekitar Rp 250.000 dengan menu kebanyakan roti dan salad. Fasilitas agak berbeda saat kami pindah di hari ketujuh di hotel Ibis Berlin-Mitte di Anhalter Strasse-4, hotel yang letaknya berdampingan dengan Suite Hotel, kami dapat harga yang lebih murah seharga 90 Euro atau setara dengan Rp 1.400.000 sudah termasuk breakfast. Tapi jangan khawatir kalau ingin tempat yang lebih murah. Ada beberapa tempat yang memang khusus untuk para backpacker, untuk permalam bisa dapat 15 Euro saja, terdapat lebih dari 10 single bed dalam satu ruangan dengan satu dapur dan satu kamar mandi yang dipakai bersama-sama. Tapi karena aku bagian dari undangan festival jadi tempat tinggal yang disediakan juga sangat nyaman.
Orang pertama yang kuhubungi saat sampai di Berlin adalah Teh Nia, setelah mandi dan ganti baju. Sudah seharian tidak mandi karena perjalanan memakan waktu setengah harian di pesawat, Teh Nia menyuruhku untuk pergi ke booth market Indonesia di hotel Marriott, sendirian aku berjalan berusaha menikmati cuaca dan menghirup udara Eropa yang lagi dingin.
Akupun berjalan kaki sesuai dengan petunjuk sms dari Teh Nia. Keluar hotel jalan lurus ke kiri sampai ketemu penyeberangan lampu merah lalu menyeberang dan berjalan ke kanan dan kutemukan di penjuru kota tulisan Berlinale ada dimana-mana. Ada petunjuk ke European Film Market Martin-Gropius-Bau, dan kulangkahkan kakiku ke sana. Ah, ramai sekali orang-orang di sana, saat memasuki gedung, dan lalu lalang orang dengan kebangsaan yang berbeda-beda, terdengar perbincangan dengan bahasa Perancis, Belanda, China, Korea dan sebelum masuk bangunan dengan arsitek klasik Eropa itu, terlihat tiang-tiang tinggi beserta patung-patung yang selalu menyertai di atap bangunan serta keseluruhan bangunan didominasi warna alam, cokelat maupun krem. Sebelum masuk ke tempat tersebut harus menunjukkan badge dulu. Lalu kutanya ke petugas jaga, di manakah letak european film market untuk Indonesia, mereka menyuruhku untuk menunggu di depan gedung dan naik mobil yang terus beroperasi mengantar ke dua tempat film market tersebut. Turunlah aku di hotel Marriott dan langsung menuju lantai satu, dan aku harus menunjukkan badge-ku lagi ke petugas agar bisa masuk menuju booth yang dipunyai Indonesia. Di booth ternyata sudah ada Mbak Mira Lesmana, Joko Anwar yang kemudian disusul kedatangan Mas Riri Riza dan tak lupa ikut serta Andrea Hirata, karena film Laskar Pelangi juga ikut masuk dalam bagian Panorama Feature.
Selama festival berlangsung kami melalui hari dengan menonton film dari pagi hingga tengah malam menjelang pagi, tak jarang di setiap malam kita datang ke Berlinale Palast untuk menyaksikan premier film bersama bintang-bintang film dan sutradara yang melewati red carpet. Film baru dimulai jam 22.30 lalu dilanjut setiap pagi kita mengantri untuk ambil tiket di Panorama Office untuk menonton film di hari berikutnya, selama 9 hari di sana hampir 20-an judul film yang aku tonton. Di samping itu aku harus datang di pemutaran film kami sebanyak empat kali di putar di bioskop Cinestar di kawasan Postdamer Platz.
Bicara tentang Postdamer Platz, di mana panorama office berada, di sana juga terdapat sisa-sisa reruntuhan tembok Berlin yang masih disisakan, yang panjangnya hanya lima meter tersebut digunakan banyak turis berfoto. Tembok Berlin yang dulunya memisahkan Berlin Barat dan Timur ternyata cukup tipis dan tingginya tidak lebih dari 2 meter—jauh dari bayanganku saat belajar sejarah di SMA dulu, aku pikir seperti tembok besar China/ benteng yang tebal, di setiap sisinya terdapat graffitti. Postdamer Platz ini adalah jantung kota Berlin dan menjadi tempat yang tersibuk di Berlin. Di square ini lengkap mulai dari bioskop, museum dan juga tempat perbelanjaan Arkaden yang terbesar di Berlin–jadi ingat belanja di Arkaden hampir 12-an sweater ZARA warna warni.
Kami menonton film tidak hanya di kawasan Postdamer Platz saja tapi nonton juga ke Cubix dan Friedrichstadpalast. Saat ke bioskop Cubix kami naik bus seharga 2,10 Euro lalu pulangnya jalan kaki melewati Checkpoint Charlie.
Checkpoint Charlie ini salah satu tempat bersejarah di Jerman. Saat itu Berlin Timur masih dikuasai oleh Uni Sovyet sedangkan Berlin Barat dikuasai oleh Amerika, Inggris dan Perancis. Nah di Checkpoint Charlie ini berlokasi di pertigaan Friedrichstasse, Zimmerstrasse dan Mauerstrasse atau biasa dikenal dengan nama Wall street yang dulunya pada saat perang dingin merupakan pos pemeriksaan bagi orang-orang yang melintasi perbatasan Berlin Barat- Berlin Timur. Di Checkpoint Charlie ini ada museumnya, tapi saat kami melewatinya sudah tutup, tapi pos penjagaan milik amerika dan sekutunya tersebut masih tetap dijaga keberadaannya dengan beberapa bangunan tembok Berlin yang tinggal beberapa meter saja.
Kami pun berfoto-foto di tempat tersebut. Yeah terbayang bagaimana mencekamnya di tempat tersebut yang pernah terjadi di bulan Oktober 1961, tank-tank Amerika berhadapan dengan Uni Sovyet sebagai pemegang kekuasaan administratif atas dua kota Berlin Barat dan Timur karena diplomatic misunderstanding. Di dekat sana terdapat toko-toko yang menjual oleh-oleh yang berhubungan dengan perang dingin tersebut, mulai dari postcard, reruntuhan tembok berlin yang dibungkus kecil di plastik, dan kaos yang bertuliskan YOU ARE LEAVING THE AMERICAN SECTOR yang diikuti tulisan berbagai bahasa perancis dan Jerman tentunya, teman-teman membelinya sebagai oleh-oleh dengan kisaran harga 10 Euro-an.
Tujuan bioskop selanjutnya adalah Friedrichstadpalast di Friedrichstrasse untuk menonton dua film di hari yang berbeda menggunakan taxi, karena letaknya lumayan jauh dari tempat tinggal kami. Gedung bioskop ini dibangun sejak tahun 1861 tentunya dengan pemugaran beberapa kali. Dalam gedung bioskop yang bisa memuat ribuan penonton tersebut hanya memiliki sebuah layar yang terletak di lantai paling dasar dan memiliki pintu masuk dari beberapa lantai. Begitu bagus arsiteknya membangun gedung bioskop yang dari arah mana saja terasa nyaman menontonnya, baik di sisi paling depan dan paling bawah pun mata terasa nyaman melihat film yang sedang di putar di layar.
Kalau pergi ke Berlin juga tak lupa dengan Brandenburg Gate sebagai landmark Berlin dan Jerman tentunya. Bangunan ini merupakan satu-satunya gerbang Berlin yang masih tersisa. Sebenarnya, aku tidak sengaja melewatinya. Sore itu bersama rombongan kami menghadiri undangan awarding night di Haus Der Kulturen Der Welt di kawasan John-Foster-Dulles-Allee 10 Berlin. Karena kebaikan guest manager yang mengurusi kami, dia memberikan tiket masuk ke kami secara cuma-cuma, tiket seharga 35 Euro tidak boleh disia-siakan, akhirnya kami berempat naik taxi ke sana dan melewati gerbang bersejarah tersebut tanpa turun untuk berfoto. Saat itu aku harus pulang, sepertinya masuk angin jadi aku naik taxi sendirian, dan beberapa rekanku masih ingin tinggal dan berpesta. Ongkos taxi cukup mahal, sewaktu berangkat habis 10 Euro-an dan kali ini harus kutanggung sendiri, jadi saat melewatinya lagi aku tidak turun untuk mengabadikannya. Hanya saja saat berbincang dengan sopir taxi aku ditanya apakah sudah mengunjungi ke gerbang itu, dalam rangka apa aku ke Berlin dan apakah sendirian saja, masih muda sudah bisa masuk ke festival bergengsi… hm seperti wawancara kerjaan saja. Padahal kalau dia tahu ada sutradara yang lebih muda dariku perempuan berusia 15 tahun membuat film layar lebar anak-anak berjudul Budha Collapsed Out of Shamed yang filmnya berkisah tentang akibat perang bagi anak-anak di Afghanistan dan filmnya diakui dunia internasional yang sudah mendapat penghargaan mungkin pak sopir lebih heran lagi, atau aku terlihat kecil dan tampak seperti anak-anak. Ya udahlah pusing amat dengan penilaian orang.
Kata para senior-senior di film tak lengkaplah ikut festival tanpa pesta. Untuk teman-teman dari Indonesia kami mengadakan Cocktail Party di sebuah kafe milik orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Berlin. Di pesta tersebut tempat kita bertemu dengan para kolega para senior tersebut. Sebelum ke sana, kami diundang oleh konsulat RI di Berlin, kami disuguhi pertunjukan baca puisi oleh para pelajar dari Indonesia yang tinggal di Berlin dan sekitarnya. Setelah ada diskusi panel dengan para panelis Mbak Mira Lesmana, Mas Riri Riza, Teh Nia Dinata, Andrea Hirata dan PW Purbanegara, adalah momen yang ditunggu-tunggu makan-makan masakan Indonesia, nasi dengan lauk pauk yang disediakan terutama sambalnya itu membuat kami makan dengan porsi yang lumayan banyak, karena sebelumnya setiap hari kami makan roti dan kalau lagi ingin yang hangat-hangat kami minum sup Tom Yum.
Mencicipi kuliner memang menyenangkan bagiku tapi harus inget kantong kami, makanan di sana mahal banget kalau dirupiahkan (ya, otak Indonesia, makanya gak usah dirupiahkan, langsung beli saja!). Untuk seporsi tom yum saja kalau mangkuk kecil 3,50 Euro tapi aku sering kelupaan untuk bilang porsi kecil jadinya porsi besar dan harganya 7 Euro, mantap kali! seharga Rp 108.500. Dan seringnya kita bisa makan enak di restoran China, Peking Ente berlima bisa habis 70 s.d 100 Euro, yeah selama masih bersama produser, kami tenang dapat gratisan terus walaupun kami sudah diberi uang makan dan per diem tapi lumayan buat beli oleh-oleh.
Setelah usai dari konsulat, rombongan bergerak menuju kafe tersebut. Hampir tiga jam bergabung, aku berencana balik duluan ternyata ada yang punya keinginan sama yaitu Andrea Hirata bersama 2 orang rombongan Miles production lainnya. Kami pun naik taxi berempat. Akupun bertanya pada Andrea seputar Katya pacarnya dulu di buku ketiganya, dan cuaca di Berlin di hari-hari itu makin dingin, disertai hujan kadang turun salju. Sopir taxi sebelumnya bertanya pada kami ke arah manakah kami? Lalu kita bilang ke Anhalter strasse, tiba-tiba aku ingat dan bilang bukannya kita harus belok kiri, sedangkan taxi terus jalan lurus lalu tiba-tiba si sopir mematikan argonya. Kami pun kaget, kenapa kok dimatikan. Oh ternyata dia merasa bersalah karena melalui jalan yang salah, dan sebagai bagian dari pelayanan dia mematikan argo biar kita gak bayar untuk kesalahan dia. Oh, baik sekali para sopir tersebut, tidak seperti saat aku di Indonesia jalur semakin panjang dan berliku semakin baik dan menguntungkan bagi taxi.
Kangen bisa nonton film berhari-hari, dan ikut sorak sorak saat ketemu sama Keanu Reeves, Blake Lively, Renne Zellweger, Gael Garcia Bernal, Tilda Swinton and off course the best programmer and nice guy such as Wieland Speck.
Wish I have more chance to contribute for next generation of Indonesian documentary filmmaker. AMIEN (Ani Ema, Berlin-Jakarta Februari 2009)
***