DARI PENULIS HINGGA PENJAHIT
Saat masuk kuliah aku mendaftarkan diri di unit kegiatan mahasiswa FORDIMAPELAR (forum diskusi mahasiswa dan penalaran), alasannya sebagai komitmenku terhadap cita-citaku menjadi penulis sekaliber Pramoedya Ananta Toer dulu. Aku juga mendaftar di FLP Surabaya.
Saat di UKM itu selama dua semester kami menerbitkan sebuah jurnal bernama OASE yang hanya empat kali saja terbit dengan aku menjadi sekretaris di redaksional kami. Penulisnya yaitu aku bersama beberapa temanku yang mempunyai beberapa nama samaran. Jurnal tersebut kami berikan gratis pada teman-teman mahasiswa agar mempunyai kepekaan dan kekritisan terhadap sejumlah isu baik lokal maupun nasional.
Di organisasi inilah aku mulai membuka diri, bilang ke temanku bahwa aku ex-Hong Kong. Tapi aku cukup ketat dengan bilang agar info itu hanya untuk mereka dengar bukan untuk disebarkan. Forum diskusi adalah waktu yang paling kutakuti. Aku takut berpendapat, aku takut bicara, bahkan aku sering bilang “lebih baik aku disuruh lari keliling lapangan daripada disuruh bicara”. Akupun sering sepuluh menit datang sebelum kelas dimulai karena tidak ingin terlambat lalu mengetuk pintu dan semua teman melihat ke arahku. Aku takut terlihat ataupun menjadi pembicaraan teman-temanku. Ex Hong Kong cukuplah masuk dalam diaryku saja dan orang terdekatku. Menjadi TKW seperti sebuah kisah yang tak ingin diketahui orang lain karena aku ingin dipandang biasa saja, seperti teman mahasiswa yang lain yang mungkin tidak mengalami sepertiku, menjadi helper!
Kalaupun ada presentasi, aku sering berkelompok dengan teman-temanku seorganisasi di UKM, kadang aku mencoba sebagai juru bicara yang menerangkan slide yang kami buat, dan aku selalu merayakan dan menuliskan kemenangan-kemenanganku karena bisa bicara di depan umum. Aku menganggapnya latihan dan aku ingin menjadi ani tanpa embel-embel ex-Hong Kong. tapi, boleh deh nanti gelarku ditaruh di belakang namaku saat diwisuda kelak.
Di FLP Surabaya aku hanya beberapa kali hadir dan menyetorkan karyaku akan tetapi sebelum karyaku dibedah aku menjadi semakin sibuk untuk mencari kerja sambilan yang saat itu di hari sabtu dan minggu diterima menjadi pengasuh anak-anak di tempat penitipan anak di yayasan Al Uswah bilangan Ngagel Surabaya. Akupun bertemu dengan beberapa teman pengasuh yang berasal dari kampus lain, bahkan ada yang berasal dari fakultas kedokteran. Aku sedikit tak percaya, ternyata teman-teman mahasiswa yang ingin mandiri juga banyak. Bahkan saat anak-anak tidur kami sempat berdiskusi tentang pengalam berorganisasi mereka yang kebanyakan mereka berasal dari organisasi pergerakan, aktivis!
Di FLP akhirnya menjadi anggota yang pasif karena banyak kesibukanku berpindah pekerjaan. Akhirnya aku menjaga toko temanku, selama empat jam perhari dan sebulan aku mendapatkan gaji Rp 200.000, nilai yang cukup untuk membayar kosku selama sebulan. Entah apa yang terjadi terhadap kondisi kesehatanku. Karena kecapaian aku sampai diopname di rumah sakit haji Surabaya dan aku berhenti sebentar. Waktu itu uangku tinggal beberapa juta saja di tabungan.
Karir menulisku belum menunjukkan peningkatan dan ada apresiasi dari luar, hanya dibaca beberapa teman kontrakan. Akan tetapi dari sebuah majalah lokal aku mendapatkan juara tiga lomba penulisan esai tentang kriteria presiden Indonesia, sedikit menghiburku. Bersama temanku dari OASE kuambil uang tersebut beserta hadiah setumpuk buku tebal-tebal kajian Islam dari majalahnya, tak lupa aku diminta menjadi penulis di rubrik majalah mereka, insyaAllah kuiyakan.
Kusisihkan sedikit uang dari lomba untuk membelikan susu berkalsium untuk Mbah Putri yang punggungnya semakin bongkok tanpa aku ada di sampingnya. Aku memang egois karena saat di Indonesia aku malah disibukkan oleh kegiatanku, mengejar cita-citaku. Bapak, Ibu dan Adik juga sering berkunjung ke Surabaya karena kegiatanku padat tak bisa ditinggalkan, terutama pekerjaan sambilan yang jatuh di akhir pekan.
Aku pun sempat les sempoa dan baru training mengajar tapi belum sempat mengajar akan tetapi kuhitung-hitung antara biaya transpor dengan gaji tidak ada kelebihan. Lalu aku menemukan usaha dagang melalui MLM juga kuikuti, menjadi pengusaha yang berakhir ha… ha… karena aku yang memang pada dasarnya tidak suka berjualan maka produk yang kutawarkan tak ada yang laku, hingga menghabiskan sisa-sisa uang tabunganku.
Aku pun berbicara dengan temanku, teman sekamarku anak ambon. Kami dulu satu kontrakan dan satu organisasi. Aku bilang kalau saat itu aku dalam masalah keuangan. Akupun tidak berbicara sama dia kalau aku dulu ex-Hong Kong akan tetapi karena dia cukup tahu kondisi keluargaku yang sederhana akhirnya dia juga cerita untuk menyelesaikan kuliahnya dia juga dapat beasiswa.
Hampir selama dua bulan terakhir aku sempat berpikir akan kembali ke Hong Kong karena kerjaan yang kudapat hanya bisa untuk makan saja, atau bayar kos sedangkan untuk bayar uang kuliah aku sudah tak mampu. Teman organisasiku berpesan agar aku menjaga kedekatan dengan Allah, pertolongan akan segera datang. Bahkan teman-temanku sering datang bermalam di kosku hanya untuk mengajakku sholat tahajjud bersama. Entahlah… saat itu semangatku semakin melemah. Cahaya hatiku berangsur redup, mungkin benar bertawakkal itu menentramkan. Akupun menyerahkan semuanya pada Tuhan. Aku ingat masih punya investasi sepetak sawah yang kubeli sebelum pulang dari Hong Kong tapi itu aku siapkan untuk persiapan kuliah adikku, sehingga saat aku lulus kuliah nanti tak terbebani oleh biaya awal kuliah adikku. Apakah harus kujual sekarang? Aku pun meminta Bapak dan Ibu menawarkan ke beberapa pembeli. Tawaran tertinggi jatuh di angka 15 juta. Terlalu sedikit pikirku untuk menyelesaikan sisa semester masih banyak apalagi semester depan harus mengambil praktikum. Aku jadi ingat saran dari Mbak Sri agar menyediakan setidaknya 50 juta untuk biaya kuliah tapi keputusanku saat itu sudah bulat untuk pulang dan berkuliah di Indonesia.
Ulfa Majid, nama temanku itu yang memberikan alamat email Mbak Upik Djalins.
“Mbak Upik tuh anak asuhnya banyak Nik. Kamu pakai referensi nama Abangku aja”
Aku hanya mengangguk, berharap akan terjadi mukjizat hadirnya tangan-tangan malaikat melalui kebaikan hati manusia yang diberi keluasan rezeki oleh Allah.
“Abangku kenal dengannya, Nik.”
Kuturuti saran Ulfa. Kususun sebuah proposal beasiswa dengan mengikutsertakan bukti-bukti secukupnya, yang menguatkan pikirku. Paspor ku-scan beserta kontrak kerja saat jadi TKW dulu dan transkrip nilai-nilaiku yang cukup bagus walaupun sepanjang semester aku jarang belajar karena disibukkan kerja dan pulang sudah capai.
Beberapa hari berlalu, aku menunggu dan berusaha ngecek e-mail lalu kudapati balasan dari Mbak Upik. Sebuah tulisan singkat yang berisi kesanggupan akan mengusahakannya karena harus meminta persetujuan dari teman-temannya.
“Mbak Ulpe… sepertinya Mbak Upik masih belum tentu bisa, karena dia baru akan mengusahakannya.”
“InsyaAllah dapat Nik, karena Beliau itu sungguh-sungguh akan menepati ucapannya. Aku sudah membuktikannya. Kalau dia bilang dalam dua hari akan mengirimiku uang maka itu akan dilaksanakan.” Ucap Ulfa meyakinkanku.
Sambil aku sering mencari info beasiswa yang mungkin bisa kumasuki. Di kampus pun aku mengirimkan persyaratan beasiswa PPA—peningkatan prestasi akademik karena IP-ku tiga koma, maka aku ke desa dan minta surat keterangan kurang mampu dari desa. Beasiswa tersebut baru diumumkan semester depan, sedangkan semester ini saja uang sudah tak ada lagi. Mungkin jika aku bilang air mata ini habis dan mengering karena sering kugunakan untuk berdoa agar aku terlepas dari kemiskinan ataupun kesempitan rezeki, maka sekali lagi aku melakukannya, bahkan kadang aku hanya diam tak mampu berucap saat berdoa.
Mbak Upik Djalins berhasil menghubungi teman-temannya secara bergantian menjadi pemberi beasiswaku Mas Rizal, Mbak Arum, Mbak Nana Firman, dan Mas Oni yang kemudian menjadi donatur sampai skripsiku selesainya. Mbak Upik memintaku mendaftar berapa biaya yang kubutuhkan dalam satu semester mulai dari biaya kuliah, praktikum sampai dengan biaya makan dan kos. Tapi biaya praktikum tak terduga juga magang harus kucari sendiri.
Aku pun tetap mencari kerja sambilan menjadi penjahit baju. Sebenarnya aku tidak pernah les menjahit tetapi saat SMP aku mengambil pelajaran ketrampilan tata busana selama tiga tahun berturut-turut jadi kemampuanku bikin pola baju sederhana dan menjahit sudah lumayan apalagi aku sering permak baju-bajuku sehingga bisa dipakai lagi. Saat di Hong Kong pun gamis yang sering kupakai berfoto, itu hasil jahitanku memakai tangan, hand made. Aku juga sempat membuatkan teman-temanku gamis besar berwarna abu-abu yang bisa dipakai buat mukenah saat di Hong Kong dulu.
Dari mulut ke mulut, usaha jahitanku semakin laris bahkan aku sempat menyetop tidak menerima jahitan untuk sementara karena harus ujian. Hampir setengah tahun berlalu dan aku tak mengira akan jatuh sakit, kali ini tifus dan harus dirawat. Aku yang saat itu menjahit menggunakan mesin jahit pedal kaki manual berhenti sementara dari aktifitas jahit menjahit. Setelah pulih, aku hanya menerima permak yang membutuhkan sedikit tenaga untuk mengayuh pedalnya, sampai suatu ketika aku ditawari temanku untuk meggantikannya menjadi pengajar bahasa Ingris untuk anak TK dan SD.
Di saat yang hampir bersamaan aku pun diterima magang menjadi asisten di Biro Konsultasi Psikologi UNTAG Surabaya, kampusku. Kami bisa berpraktek dan saat ada job dari luar kami pun bisa mendapatkan gaji yang lumayan. Pernah suatu ketika aku bersama teman lainnya mendapatkan tawaran untuk menjadi tester yang mengadministrasikan alat tes psikologi adaptasi dari tes BINET oleh departemen pendidikan di Jakarta. Dalam waktu dua hari memberi tes uji coba pada anak TK kami mendapatkan gaji Rp 500.000, nilai yang menurutku luar biasa besar dan mampu mengisi tabunganku kembali. Selama dua tahun berturut-turut akhirnya aku mendapatkan beasiswa PPA dari kampusku.
***